Beranda | Artikel
Warisan Nabi Yang Terlupakan
Kamis, 14 Mei 2015

Buletin At-Tauhid edisi 20 Tahun XItholabul ilmi

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, menimba ilmu adalah sebuah amalan yang sangat utama. Karena dengan ilmu itulah seorang bisa memetik  manfaat untuk dirinya dan menebar faidah untuk sesama. Ilmu adalah warisan yang ditinggalkan oleh para nabi untuk umat manusia. Kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah akan pahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa ilmu adalah kunci kebaikan. Karena ilmu adalah imam/pemimpin atas amalan. Beramal tanpa ilmu akan menimbulkan banyak kerusakan dan kekacauan.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Menimba ilmu adalah jalan menuju surga. Karena surga hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang bertakwa. Sementara ketakwaan tidak bisa diwujudkan apabila tidak dilandasi dengan ilmu.

Ilmu adalah jalan menuju kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan sebab Kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan akan merendahkan dengan sebab itu pula sebagian kaum yang lain” (HR. Muslim). Maknanya, orang yang memahami dan mengamalkan Al-Qur’an akan diberikan kemuliaan sedangkan orang yang tidak mau memahami dan mengamalkannya maka akan dihinakan. Oleh sebab itu, ilmu adalah gerbang menuju keutamaan.

Ilmu adalah jalan menuju kebaikan dan keteladanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Mempelajari Al-Qur’an tentu tidak hanya terbatas pada cara membacanya, tetapi juga mencakup tafsirnya, penjelasan faidah dan hukum yang terkandung di dalamnya.

 

Ilmu adalah jalan menuju petunjuk dan keselamatan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas menafsirkan, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (Tafsir At Tobari). Oleh sebab itulah kebutuhan manusia kepada ilmu sangatlah besar. Imam Ahmad berkata, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar as-Sa’aadah). Sungguh benar apa yang telah beliau katakan… Bukankah setiap hari di dalam sholat kita berdoa kepada Allah memohon hidayah kepada jalan yang lurus? Ya, sebagaimana doa yang selalu kita baca ‘ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.” Setiap hari kita membacanya minimal 17 kali. Hal ini menunjukkan kepada kita besarnya kebutuhan setiap insan terhadap ilmu dan hidayah dari Allah.

 

Ilmu yang wajib untuk kita pelajari itu adalah ilmu agama; yaitu ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan berpegang teguh dengan keduanya seorang muslim akan bisa selamat di dunia dan di akhirat. Ilmu yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan melahirkan ketakwaan kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah rasa takut -kepada Allah-” (Al Fawa’id, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah). Dan diantara ilmu agama ini maka ilmu tauhid merupakan ilmu yang paling pokok dan paling utama. Sebab tauhid adalah asas dan pondasi agama Islam. Tidak akan masuk surga kecuali orang yang bertauhid, dan tidaklah selamat dari neraka kecuali orang yang bertauhid. Tauhid itu adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah. Sebagaimana ayat yang setiap hari kita baca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu ya Allah, kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Tauhid inilah hikmah dan tujuan penciptaan diri kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan, bahwa yang dimaksud beribadah di sini adalah bertauhid. Karena ibadah tanpa tauhid tidak akan diterima di sisi Allah Ta’ala, walaupun orang itu banyak melakukan sholat, puasa, dan sedekah akan tetapi jika dia berbuat syirik maka lenyaplan amal-amal kebaikannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik maka pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi” (QS. Az-Zumar : 65). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan kemudian Kami menjadikannya bagaikan debu-debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan : 23).

 

Marilah kita cermati keadaan umat manusia. Banyak orang yang lalai dan lupa terhadap ilmu tauhid ini. Di saat yang sama, banyak sekali manusia yang begitu bersemangat dan rela mencurahkan segalanya demi mencari ilmu-ilmu selainnya. Mereka rela menghabiskan waktunya, hartanya, dan mengorbankan apa saja demi mengumpulkannya dan menjadi ahli di bidangnya sementara dalam masalah tauhid -yang itu adalah masalah paling utama dan paling dibutuhkan olehnya- mereka justru lalai dan seolah tidak peduli. Kebaikan seperti apakah yang bisa kita raih apabila kita tidak memahami tauhid? Kemuliaan seperti apakah yang bisa kita capai apabila tauhid kita telantarkan? Kejayaan seperti apakah yang ingin kita dapatkan apabila tauhid dan keikhlasan dicampakkan? Imam Malik berkata, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Umar bin Khaththab mengatakan, “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam, niscaya Allah merendahkan kami” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, shahih).

 

Bukankah generasi pertama umat ini mencapai kebaikan dan kemuliaan dengan tauhid dan keikhlasan? Bukankah mereka berjaya karena berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah? Bukankah menimba ilmu adalah jalan menuju surga? Lalu apakah yang menghalangi kita dari menimba ilmu tauhid dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?

 

Apakah untuk urusan dunia dan hura-hura kita bisa meluangkan waktu dan pikiran kita, sementara untuk urusan akhirat dan agama kita tidak bisa?! Apakah kita sudah lupa kalau kita setiap hari berdoa kepada Allah meminta petunjuk tujuh belas kali, kemudian kita justru malas dan enggan untuk mencari ilmu agama?

 

Penulis : Ust. Ari Wahyudi, S.Si.

 


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/warisan-nabi-yang-terlupakan/